Selasa, 10 Juli 2007

V. REVOLUSI.

1. Peperangan dan Revolusi.

Sebermula maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam (hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya bekerja.

Seperti suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban maju dengan tiada di rasa.

Tetapi seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung akan menebus gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.

Baik dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap maju.

Sebagian dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya "Also Sprach Zarathustra" (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam "Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan segala keyakinan.

Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.

Selamanya ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan. Cacingpun, yang diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan putus putusnya.

Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar, Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L'Ouver­ture pemimpin budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria, laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme, melainkan kegiatan yang suci.

Tindasan feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu kasta dari kasta yang lain.

Voltaire dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru pula, yakni: "Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan."

Kaum Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.

Pemikir baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan baru: "Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah" Tidak lagi satu kasta dalam satu negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.

Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.

Imperialisme boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata. Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari pada peluru dan bom, yakni kerukunan.

Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian senjata itu ialah Kaum Proletar juga.

Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.

Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh berapapun besarnya.

Revolusi bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia yang termulia untuk maksud yang tersuci.

2. Revolusi di Indonesia.

Objektifnya, yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan - catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat kita.

Walaupun ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner, artinya itu belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga. Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar negeri.

Wataknya kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gunung­gunung, buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5 juta).

Oleh karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan politik selamanya ini bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris, politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi Putera.

Tetapi di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena tak ada kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan untuk satu golongan kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat akan segera bisa menjadi baik.

Berhubung dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan pemberontakan Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).

Jadi pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.

Mana kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.

Di Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika, begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.

Di luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.

Meskipun begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner akan tetap naik di seluruh Indonesia.

Kita tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata pada Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di lain tempat: "Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana." Bukan karena kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.

Walaupun pemberontakan Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan internasional, maka Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan kebangsaan dan kekastaan.

Berhubung dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi "aanvulling" (tambahan - catatan editor) atau tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak terutama pada massa aksi yang teratur: "mogok, boikot dan demonstrasi."

Walaupun berapa juga verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi yang maha tajam itu.

3. Taktik di Indonesia.

Dalam daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya imperialisme.

Cuma kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa masuk.

Taktik kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform, yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme Belanda.

Taktik kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas, timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang di sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang, Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah. Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo, Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang bisa membayar cukup dan tetap.

Kalau kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.

Kalau kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras, barulah kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.

Inggris tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam pergerakan revolusioner di Eropa.

Kita tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya - catatan editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan bersatu.

Walaupun Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun getah.

Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita. Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran dan maksud tak satu akan hancur.

Sebaliknya kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.

Kalau saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.

4. Massa Aksi di Indonesia..

Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah berkata: "Bliksem (petus!). Dimana dia baca?"

Dr. Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.

Bonifacio ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.

Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat membalas dendam. "Kalau Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan Filipina?" Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki dan perempuan.

Sekaranglah datangnya saat buat Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina. Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan dengan "bolo" (pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.

Tiada lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang belum jatuh.

Banyak lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.

Umpamanya L'Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan "kapal terbang" sebelum ia menyerang tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.

Senjatanya Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka semua kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut dengan tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk negeri lain.

Orang tak bisa bantah, "O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu kuat." Atau "mereka berkulit putih atau berasal ini atau itu." Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.

Sebaliknya, walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita.

Ketika mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6 1/2 juta saja.

Kita sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu revolusi industri belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan peperangan, yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.

Kita lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apa­pun juga di dunia.

Kita masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda terutama harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.

Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat teratur itu.

Kita satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.

Disini tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: "Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan)."

5. Rapat Rakyat Indonesia.

Saat kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.

Kalau Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.

Kalau pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan peraturan yang ada.

Kalau pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan demonstrasi.

Kalau Pemerintah terus memakai "Tangan Besi" dan tiada menimbang permintaan Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum berani melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.

Semangat revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat Indonesia.

Proletar, Tani, Student, Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.

Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).

Memanggil Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.

Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::

"Umpamanya kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah kalau pimpinan merasa perlu...). Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok, Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak, menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih - catatan editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih dahulu..."

Inilah semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.

Barulah datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan di luar negeri.

Sebelumnya saat buat bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang terutama terus: "Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi."

Kalau Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang betul.

Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu, maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat dan saat yang tidak kita kehendaki.

Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam "putch" (pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.

Aksi ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia sendiri.

6. Revolusioner Komunis.

Pada suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.

Kapitalisme jajahan yang masih muda di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.

Tetapi buruh industri model baru, yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh industri saja terbawa "kerja bersama" dan "bertarung bersama" dan dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju "kerja bersama" dan "aksi Bersama."

Jadi revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.

Dasarnya revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.

Kalau keadaan ekonomi dan politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum siap, maka kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu, menyingkiri segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini didorong oleh musuh.

Imperialis putih ialah, politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual buat kita sangat sedikit harganya.

Kalau keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi sementara lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri dan besoknya krisis mesti datang lagi.

Strategi kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian sebagai individu (melemparkan bom), melainkan bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi & politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.

Kalau krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner. Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..

Hai Rakyat Melarat !!

Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?

Hai Kawan-Kawan Separtai !!

Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap...

Kawan-Kawan !!!

Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!

Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah­-tengah Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: "Menang atau mati dalam Massa Aksi."

Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban...

Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini bersemayam Semangat Revolusioner"

Tokyo, Januari 1926.

Tidak ada komentar: